Lewat Djam Malam (1954) by Usmar Ismail
“Lewat Djam Malam” adalah film klasik Indonesia yang direstorasi kembali.
Sutradara: Usmar Ismail
Pelakon: A.N. Alcaff, Dahlia, B. Hermanto, N. Herawati, Awaludin, R. Ismail, A. Moward, T.Sumarni.
Bahasa: Indonesia
Durasi: 115Menit
Jadwal tayang : http://www.21cineplex.com/lewat-djam-malam-movie,2874,02LDMM.htm
Tentang “Lewat Djam Malam“
Kesempatan diperlukan oleh semua orang, dari generasi kegenerasi. Beruntunglah mereka yang terlahir dan mengalami beberapa dekade dalam hidupnya menjadi saksi sejarah. Bersyukurlah kita sebagai generasi berikutnya yang diberikan kesempatan untuk menikmati sejarah. Mengenalnya dalam bentuk medium film dan oleh kecanggihan teknologi, seperti salah satu judulnya yaitu “Lewat Djam Malam”.
“Lewat Djam Malam” adalah film Indonesia pertama produksi lama yang direstorasi dengan biaya yang besar, dua miliar rupiah. Mengingat film bukanlah warisan budaya yang abadi, usia film bergantung pada proses dan kondisi penyimpanannya, yang perlu ditunjang oleh kesadaran dalam pemeliharaan dan pengarsipan.
Informasi mengenai proses restorasi “Lewat Djam Malam” dapat Anak Trax baca dari link ini > http://filmindonesia.or.id/article/restorasi-film-lewat-djam-malam#.UAUTO1HrZSU
Ketika pejuang mempertanyakan apa yang diperjuangkannya
Saya merasa film ini dibuat oleh seorang nasionalis tapi ceritanya bukanlah tentang suatu keberhasilan. Tidak bermaksud pesimis, namun sulitnya beradaptasi terhadap perubahan, kalau tidak bisa mengikuti — nanti akan ketinggalan, sepertinya isu yang masih relevan sampai sekarang.
Diawali dan diakhiri dengan gambaran mengenai aturan “Lewat Djam Malam“. Paska kemerdekaan, masyarakat sipil di Bandung tidak diperbolehkan keluar rumah setelah pukul 10 malam. Bila ada yang melanggar, terlihat masih berada di luar rumah, maka akan ditindak tegas oleh CPM (Corp Polisi Militer). Hanya sedikit saja cerita mengenai aturan tersebut, selebihnya adalah kisah tentang perjuangan dan revolusi, dimana saya sangat menikmati alur ceritanya, terutama karakter tokoh-tokohnya.
Hingga sekarang tokoh-tokoh seperti yang diceritakan oleh Usmar Ismail masih nyata. Setiap tokoh yang ada dalam film ini masing-masing berjuang, setidaknya berusaha untuk hidup layak dan diterima masyarakat. Sangat manusiawi, mungkin itulah sebabnya saya yang hidup beberapa dekade setelahnya juga dapat menikmati kedekatan film ini.
Iskandar (AN Alcaff)
Seorang bekas pejuang yang baru kembali dari medan perang dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing bagi dirinya. Ia seperti terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya. Kalau istilah kekiniannya: belum bisa “move on”. Iskandar berjuang melawan kegalauan dirinya sendiri, di tengah lingkungan yang sudah tidak nyaman baginya. Namun usaha untuk bertahan hidup itu ada, demi tunangannya, walaupun Ia merasa terjebak di tengah rekan-rekan seperjuangannya dulu, yang terbukti tidak jujur, tidak bermoral. Menjadi benar sendirian memang lebih sulit daripada menjadi salah bersama-sama.
Gaffar (Awaludin), Gunawan (Rd. Ismail), dan Pudja (Bambang Hermanto)
Teman-teman seperjuangan Iskandar di medan perang. Dulu sewaktu memiliki kepentingan yang sama, semua adalah teman. Tapi dalam kehidupan setelahnya, perbedaan visi dan misi bisa menimbulkan perpecahan. Masing-masing berjuang dalam persaingan. Gafar sudah menjadi seorang pemborong. Pudja menjadi centeng di rumah bordil. Gunawan menjadi pebisnis dengan cara yang kotor. Siapa kuat, dia bisa menang, tanpa mempedulikan moral dan hati nurani. Tidak bermaksud menghakimi, namun orang-orang seperti mereka memang masih ada di era sekarang ini. Terutama bagi mereka yang terlanjur diperbudak oleh uang dan kekuasaan.
Perempuan-perempuan yang ikut berjuang
Saya melihat Usmar Ismail menggambarkan perempuan pada masanya tidak terlalu berbeda dengan keadaan sekarang. Secara status sosial terbagi menjadi dua kelas. Kelas yang bersusah payah dan kelas yang beruntung. Diluar itu, saya mengagumi relativitas kecantikan yang tidak membuat perempuan berlomba-lomba memuntahkan kembali makanannya. Berharap trend badan perempuan ‘seksi’ tidak pernah berubah dari jaman itu. Kedua tokoh perempuan dalam “Lewat Djam Malam” memiliki kebutuhan yang sama yaitu laki-laki yang bisa diandalkannya.
Norma (NettyHerawati)
Tunangan Iskandar yang hedon dan borjuis. Fokus perhatian Norma bukanlah pada dunia lokal, melainkan kepentingan pribadinya. Revolusi digambarkan sebagai kebebasan dan kemerdekaan untuk berpesta. Perempuan muda yang tidak mau ketinggalan dalam pergaulan dan hobi bersenang-senang. Beruntungnya, dia cukup berada, sehingga menjadikannya magnet sendiri bagi pengikut-pengikutnya. Seperti sebagian perempuan di masa sekarang, perjuangannya adalah untuk selalu diterima dan dipandang masyarakat.
Laila (Dhalia)
Seorang perempuan tuna susila, tinggal di sebuah rumah bordil. Perjuangannya adalah untuk mencapai mimpi. Seperti perempuan pada umumnya, Laila berusaha memenuhi kebutuhannya akan perlindungan, perhatian, kedamaian dalam rumah tangga. Perjuangannya mencari ketentraman dan kenyamanan yang belum Ia dapatkan, namun masih terus berkutat dalam proses pengharapan.
Saya menikmati curahan hati Usmar Ismail. Mengkritisi keadaan sosial dengan tajam, yang ternyata tak lekang oleh waktu, setidaknya masih relevan hingga saat saya menulis review ini. Dan pada akhirnya, dengan senang hati saya akan meneruskan apa yang disampaikan di akhir film:
Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.
Dimana ada harapan, di situ ada perubahan – karena revolusi tidak akan pernah mati. Termasuk akan adanya harapan menyelamatkan film-film Indonesia klasik lainnya yang menjadi bagian dari sejarah perfilman Indonesia. (Nastasha Abigail)