Di Tengah Antusiasme ‘Wicked’, SZA Soroti Bullying dan Misogynoir pada Cynthia Erivo
Seiring meningkatnya euforia menjelang perilisan Wicked: For Good, adaptasi film dari musikal legendaris yang sudah bertahun-tahun dinantikan, perhatian publik tiba-tiba teralihkan pada sebuah polemik yang tak terduga. Alih-alih fokus pada promosi film, linimasa media sosial justru dipenuhi kritik dan bahan olok-olokan yang ditujukan kepada salah satu pemeran utamanya, Cynthia Erivo.
Semua berawal dari sebuah insiden di karpet merah, ketika Erivo terekam tengah melindungi Ariana Grande dari seorang penggemar yang menerobos keamanan. Momen itu kemudian disalahartikan dan dipelintir menjadi bahan meme dan komentar bernada merendahkan, banyak di antaranya membawa sentimen rasial dan seksis. Dalam hitungan jam, Erivo berubah dari pahlawan instan menjadi target perundungan digital yang intens.
Melihat gelombang hinaan tersebut, SZA, salah satu suara terkuat di ranah musik R&B saat ini, angkat bicara. Ia mengecam pola komentar menyerang yang dialamatkan pada Erivo dan secara terang-terangan menyebutnya sebagai bentuk “misogynoir klasik” istilah yang menggambarkan kombinasi misogini dan rasisme yang sering dialami perempuan kulit hitam. Menurut SZA, apa yang terjadi bukan sekadar candaan internet, tetapi cerminan bias yang sudah lama mengakar dan kembali muncul di tengah sorotan besar sebuah proyek Hollywood.

Pada 13 November 2025, saat premiere “Wicked: For Good” di Singapura, terjadi insiden mengejutkan ketika seorang penggemar menerobos barikade dan mendekati Ariana Grande secara agresif. Rekaman yang beredar menunjukkan Cynthia Erivo langsung sigap menghalangi penggemar tersebut dan berdiri di antara Ariana hingga petugas keamanan datang. Respons cepat ini awalnya dipuji banyak orang sebagai bentuk refleks protektif yang wajar terhadap rekannya. Namun, situasinya berubah ketika potongan video insiden itu diedit dan disebarkan ulang sebagai meme, klip parodi, dan konten viral di media sosial.
Banyak unggahan yang justru mengejek penampilan Erivo mulai dari kepala plontos, bentuk tubuh, hingga ekspresi bahkan menggambarkannya secara karikatural atau maskulin berlebihan. Tak sedikit pula yang memperkeruh keadaan dengan menyebarkan narasi tidak berdasar tentang hubungan Erivo dan Ariana, seolah ada sesuatu di luar persahabatan. Akibatnya, momen yang seharusnya menunjukkan solidaritas dan perhatian terhadap keselamatan malah berubah menjadi ajang lelucon sinis, stereotip merugikan, dan komentar negatif yang mengakar pada bias ras dan gender.
Pada 28 November 2025, di bagian komentar sebuah Instagram Reel yang menyerukan agar meme dan ejekan itu dihentikan, SZA ikut memberi pendapatnya. Ia menulis “Ur not bugging and no one is too woke! It’s CLASSIC Misogynoir! NOTHING ELSE!!! can’t believe it’s openly a thing in 2025”. Dia menekankan bahwa komentar dan meme terhadap Erivo bukan sekadar “jenaka” atau “satir”, melainkan bentuk kebencian terhadap perempuan kulit hitam misogynoir campuran misogini dan rasisme. SZA melanjutkan “everyone’s gonna have cognitive dissonance 2 years later like ‘remember when everyone attacked Cynthia for being black bald and nurturing?… that was crazy’ … it could jus stop now lol”.
Dengan kata lain apa yang dianggap humor sekarang akan terlihat memalukan, menyakitkan, dan tidak bertanggung jawab di masa depan. Dalam reaksinya, SZA juga menunjukkan kekecewaan bahwa hal semacam itu masih terjadi di 2025 di era ketika seharusnya kesadaran soal ras, gender, dan representasi sudah semakin berkembang. Secara implisit, SZA menekankan berdiam terhadap pelecehan digital adalah sama dengan toleransi terhadap rasisme dan misogini dan dia memilih untuk tidak diam.
Istilah “misogynoir” diperkenalkan oleh para akademisi dan aktivis untuk menjelaskan bentuk diskriminasi yang khusus menimpa perempuan kulit hitam yakni perpaduan antara seksisme dan rasisme yang saling menguatkan. Dalam kasus Cynthia Erivo, konsep ini terlihat jelas ketika tindakan protektifnya saat melindungi Ariana Grande justru dipelintir menjadi bahan olok-olok. Bukannya diapresiasi, responsnya malah ditanggapi dengan komentar merendahkan tentang penampilan fisiknya, kepala plontosnya, hingga ekspresi wajah yang dianggap terlalu “maskulin”.

Tidak hanya mempermalukan, serangan tersebut memuat bias ras dan stereotip gender yang masih melekat kuat. Fenomena ini mencerminkan pola historis yang telah lama dialami perempuan kulit hitam, di mana mereka sering ditempatkan dalam stereotip sebagai sosok yang kurang feminin, terlalu keras, atau secara fisik dianggap “lebih kuat,” sehingga setiap perilaku yang tidak sejalan dengan standar feminitas berkulit putih menjadi alasan untuk diejek atau dikritik. Dengan menamai dan menyoroti fenomena ini seperti yang dilakukan SZA diskusi publik tidak lagi berhenti pada reaksi moral semata, tetapi berkembang menjadi kritik terhadap struktur dan pola diskriminatif yang lebih luas.
Pada akhirnya, dinamika yang terjadi di sekitar “Wicked”, Cynthia Erivo, dan respons warganet jauh melampaui sekadar kontroversi film ataupun meme viral. Peristiwa ini mengungkap bagaimana perempuan kulit hitam masih harus menghadapi standar ganda ketika berada di ruang publik, serta bagaimana kultur digital kerap memperkuat bias yang sudah mengakar. Reaksi SZA menjadi pengingat penting bahwa komentar sinis, lelucon visual, dan distorsi narasi yang tampak sepele sebenarnya bisa berakar dari pola rasisme dan misogini yang lebih luas. Membiarkannya lewat tanpa kritik berarti membiarkan siklus tersebut terus berjalan.
Melalui dukungan vokal SZA, percakapan tentang representasi, perlakuan adil, dan tanggung jawab sosial di ruang digital kembali mendapat sorotan. Harapannya, suara-suara seperti ini dapat memicu kesadaran kolektif, mendorong empati yang lebih besar, dan membangun ruang publik yang menghargai keberagaman bukan menjadikannya sasaran ejekan. Di tengah sorotan besar terhadap film “Wicked”, momen ini semestinya mengingatkan kita bahwa industri hiburan dan para penontonnya sama-sama punya peran dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan manusiawi.