Review ‘Five Nights at Freddy’s 2’, Kembalinya Josh Hutcherson di Sekuel yang Layak Dilewatkan
Sejak pertama kali diumumkan sebagai kelanjutan resmi dari film horor fenomenal Five Nights at Freddy’s (2023), ekspektasi terhadap Five Nights at Freddy’s 2 langsung melonjak. Para penggemar menaruh harapan besar, terutama dengan kembalinya Josh Hutcherson sebagai Mike yang kini harus kembali berhadapan dengan mimpi buruk masa lalu. Kehadiran sederet animatronik legendaris serta tambahan karakter baru juga memicu rasa penasaran seolah menjanjikan pengalaman horor yang lebih intens, misteri yang lebih dalam, dan pengembangan cerita yang lebih matang.
Namun, ketika filmnya akhirnya hadir di layar, pertanyaan pun muncul apakah sekuel ini mampu menjawab semua antisipasi yang dibangun sejak awal? Sayangnya, secara keseluruhan, film ini justru gagal memenuhi ekspektasi besar tersebut. Alih-alih menghadirkan peningkatan kualitas, Five Nights at Freddy’s 2 malah terasa kurang bertenaga dan tidak mampu menyamai pesona maupun ketegangan film pertamanya.
Five Nights at Freddy’s 2 mengambil latar sekitar satu tahun setelah insiden mengerikan yang terjadi di Freddy Fazbear’s Pizza. Alih-alih dianggap sebagai tragedi nyata, peristiwa tersebut kini berubah menjadi legenda urban yang dibicarakan warga sebagai cerita mistis kota kecil. Bahkan, masyarakat mengemasnya menjadi hiburan dengan menyelenggarakan festival bertema “Fazfest,” seolah-olah kengerian itu hanyalah bagian dari budaya pop.
Di tengah suasana yang tampak tenang itu, Mike (Josh Hutcherson) dan Vanessa (Elizabeth Lail) berusaha keras menjaga kehidupan normal bagi Abby (Piper Rubio), adik Mike yang masih muda dan mudah terpengaruh. Mereka menutupi kenyataan sebenarnya agar Abby tidak kembali terjebak dalam trauma yang pernah hampir menghancurkan keluarga mereka.

Namun, semuanya berubah ketika Abby diam-diam kembali ke bangunan tua Freddy Fazbear’s. Dengan polos, ia mencoba berinteraksi kembali dengan animatronik seperti Freddy, Bonnie, Chica, dan Foxy makhluk yang baginya terasa seperti teman, padahal bagi Mike adalah ancaman mematikan. Keberanian Abby tanpa disadari membangkitkan kembali kengerian lama. Perlahan, misteri kelam tentang asal-usul Freddy Fazbear dan rahasia yang selama ini terkubur mulai terbuka. Ketika kebenaran terungkap sedikit demi sedikit, mimpi buruk yang dulu berhasil dihentikan kini kembali hidup.
Dengan fondasi cerita seperti ini, seharusnya Five Nights at Freddy’s 2 mampu menghadirkan sekuel yang lebih gelap, lebih emosional, dan lebih menegangkan. Ada ruang besar untuk menggali lore yang kompleks, membangun suasana horor yang menghantui, dan memperluas dunia sinematiknya. Namun pada kenyataannya, eksekusinya jauh dari kata maksimal. Film ini tidak berhasil memanfaatkan premis kuat yang dimilikinya. Bagi penonton umum, apalagi yang tidak terlalu mengikuti lore FNAF, cerita terasa kurang menggigit dan atmosfer horornya tidak cukup menekan. Hasilnya, sekuel ini sulit meninggalkan kesan mendalam kecuali bagi para penggemar berat yang memang sudah akrab dengan dunia Freddy Fazbear.
Salah satu elemen yang paling banyak mendapat pujian dalam ulasan positif adalah kualitas efek praktis serta animatronik yang digunakan. Alih-alih mengandalkan CGI sepenuhnya, tim produksi memilih menggunakan proper-effect nyata, sehingga para aktor dapat berinteraksi langsung dengan “makhluk” fisik di lokasi syuting. Pendekatan ini membuat kehadiran animatronik seperti Toy Freddy, Toy Chica, Mangle, hingga versi rusak dari karakter klasik tampak jauh lebih hidup dan mengintimidasi terutama ketika muncul dalam pencahayaan redup dan atmosfer gelap khas film horor.
Beberapa pengulas juga menyorot bahwa kemunculan karakter tertentu, seperti The Marionette, mampu memunculkan ketegangan singkat sekaligus menghadirkan rasa nostalgia bagi para penggemar gim orisinalnya. Namun sayangnya, efek ini tidak berlangsung lama. Banyak adegan “menakutkan” hanya muncul sekilas, sehingga momen horor terasa cepat lewat dan tidak membangun ketegangan secara konsisten. Animatronik sering hanya tampak sekejap sebelum menghilang lagi, sehingga dampak horornya menjadi kurang kuat.

Pada akhirnya, meskipun kualitas visual serta rancangan animatronik merupakan salah satu aspek terbaik dari film ini, hal tersebut belum cukup untuk menopang Five Nights at Freddy’s 2 sebagai tontonan horor yang benar-benar efektif.
Salah satu kelemahan terbesar Five Nights at Freddy’s 2 terletak pada kualitas naskah serta penyusunan alurnya. Banyak kritikus menilai film ini terlalu “penuh sesak” dipenuhi subplot, terlalu banyak karakter, serta tumpukan lore dan penjelasan yang saling bertabrakan hingga membuat cerita kehilangan fokus. Akibatnya, pengembangan karakter menjadi terpinggirkan. Alih-alih tampil sebagai individu dengan perjalanan emosional yang jelas, banyak tokoh justru seperti dikorbankan demi memenuhi kepadatan dunia yang ingin ditampilkan. Bahkan sosok antagonis ikonik seperti William Afton (Matthew Lillard) dianggap tidak mendapat ruang yang memadai untuk memperlihatkan kedalaman ataupun kebengisannya sebagai villain utama.
Pengulas dari The Guardian menyebut bahwa film ini lebih terasa seperti proyek branding daripada sebuah narasi horor yang solid. Banyak elemen terasa ditempelkan begitu saja, perpindahan adegan berlangsung mendadak, logika cerita sering tidak konsisten, dan hubungan antar-scene kurang terjalin dengan baik. Tak hanya itu, bagian eksposisi terutama dialog panjang, pembahasan lore, hingga pengungkapan rahasia sering disampaikan dengan cara yang berat dan berulang. Alih-alih memperkaya cerita, hal ini justru memperlambat ritme dan mengikis ketegangan yang seharusnya dibangun oleh film horor.
Secara keseluruhan, bagi penonton umum yang tidak mengikuti lore FNAF secara mendalam, cerita film ini mudah terasa ruwet, membingungkan, dan jauh dari memuaskan.
Banyak penonton awalnya berharap sekuel ini akan berani menggali sisi gelap waralaba Five Nights at Freddy’s mungkin dengan pendekatan horor yang lebih intens, brutal, atau mengguncang. Namun ekspektasi tersebut tidak sepenuhnya terwujud karena film tetap mempertahankan rating PG-13. Batasan ini secara otomatis membatasi seberapa jauh jenis horor yang bisa ditampilkan di layar. Meski terdapat beberapa jump-scare dan adegan bernuansa menegangkan, film ini jarang menghadirkan rasa takut yang bertahan lama. Atmosfer yang benar-benar mencekam, horor psikologis yang mengaduk emosi, ataupun rasa “dread” yang menghantui semuanya hanya muncul sekilas atau bahkan tidak terasa sama sekali. Banyak adegan mengandalkan formula umum suara tiba-tiba, pergerakan cepat kamera, atau kemunculan animatronik yang mendadak. Teknik-teknik ini, meski efektif untuk penonton kasual, terasa repetitif dan mudah ditebak.

Alhasil, Five Nights at Freddy’s 2 lebih cocok disebut sebagai tontonan horor ringan pas bagi remaja atau mereka yang menikmati jump-scare cepat, tetapi jauh dari kategori horor intens yang benar-benar mengganggu secara emosional atau psikologis.
Penilaian terhadap Five Nights at Freddy’s 2 cukup keras. Di situs agregator ulasan, film ini memperoleh skor kritikus yang masuk kategori “Generally Unfavorable”, dengan Metascore hanya 22 dari 100 angka yang menunjukkan penerimaan kritis yang sangat buruk. Banyak pengulas menilai film ini sebagai salah satu rilisan horor paling mengecewakan tahun ini. Kritik terutama diarahkan pada ritme cerita yang tidak stabil, alur yang berantakan, pengembangan karakter yang minim, dan bahkan elemen teror animatronic yang seharusnya menjadi kekuatan utama dianggap menurun kualitasnya.
Beberapa kritikus bahkan menyebut bahwa Five Nights at Freddy’s 2 terasa lebih lemah dibanding film pertamanya. Meski begitu, resepsi tidak sepenuhnya negatif. Ada juga penonton serta sejumlah reviewer yang mengapresiasi penggunaan efek praktis dan desain animatronik yang tetap berhasil membangun suasana. Bagi para penggemar lama, lore yang digali film ini masih memiliki daya tarik tersendiri. Sebagian penonton juga menganggap film ini masih “lumayan menghibur” jika ditonton tanpa ekspektasi tinggi, terutama sebagai horor ringan. Pendapat komunitas online pun tak kalah beragam. Di platform seperti Reddit, beberapa komentar menyuarakan rasa kecewa, “I really enjoyed the first one… But this sequel was boring as hell… Nothing was truly scary about the movie”. “I’m no longer interested to see the third upcoming Freddy’s film”. Komentar-komentar semacam ini mewakili reaksi banyak penonton umum yang merasa film ini gagal memenuhi potensinya dan terasa terlalu generik dibandingkan apa yang bisa dicapai oleh sebuah sekuel horor besar.
Pada akhirnya, Five Nights at Freddy’s 2 adalah proyek dengan potensi luar biasa besar yang tidak pernah benar-benar dimanfaatkan. Dengan basis penggemar yang masif, keberadaan aktor sekaliber Josh Hutcherson, penggunaan efek praktis yang solid, hingga lore yang sebenarnya kaya untuk digarap lebih dalam, sekuel ini seharusnya bisa menjadi langkah maju bagi franchise. Sayangnya, hasil akhir justru terasa seperti rangkaian elemen menarik yang tidak pernah terhubung menjadi pengalaman horor yang utuh. Nostalgia memang hadir, desain animatronik tetap mengesankan, tetapi kekacauan alur dan kurangnya arah membuat film ini kehilangan daya gigit.
Bagi penonton yang menginginkan horor mencekam, karakter yang bisa mengundang empati, atau cerita yang meninggalkan dampak emosional, film ini berisiko besar tidak memenuhi ekspektasi. Intensitas teror yang minim dan jalannya cerita yang kurang fokus membuat pengalaman menontonnya terasa datar. Namun, bagi mereka yang hanya ingin kembali melihat animatronik legendaris bergerak di layar lebar tanpa menuntut kedalaman cerita atau horor yang berat sekuel ini mungkin masih dapat memberikan hiburan ringan.
Kesimpulannya, hadirnya kembali Josh Hutcherson dan parade karakter animatronik yang ikonik tidak cukup untuk mengangkat kualitas keseluruhan film. Five Nights at Freddy’s 2 akhirnya menjadi sekuel yang lebih banyak menjanjikan daripada memenuhi janji sebuah lanjutan yang, sayangnya, mudah untuk dilewatkan.