Quentin Tarantino Kritik Keras ‘Hunger Games’, Sebut Mirip ‘Battle Royale’
Belakangan ini, sutradara legendaris Quentin Tarantino kembali menjadi sorotan publik setelah melontarkan kritik tajam terhadap waralaba The Hunger Games baik versi novel maupun adaptasinya di layar lebar. Ia menilai karya populer tersebut memiliki kemiripan yang terlalu mencolok dengan Battle Royale, novel kultus karya Koushun Takami yang kemudian difilmkan oleh sutradara Jepang Kinji Fukasaku. Pernyataan Tarantino tersebut memicu gelombang diskusi baru dan menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan penggemar film, kritikus internasional, hingga komunitas sastra, karena menyentuh isu sensitif tentang orisinalitas, inspirasi, dan batas antara kreativitas serta plagiarisme dalam industri hiburan global.
Quentin Tarantino dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perfilman kontemporer. Namanya lekat dengan karya-karya ikonik seperti Pulp Fiction, Kill Bill, hingga Inglourious Basterds, yang bukan hanya sukses secara komersial, tetapi juga mengubah cara publik memandang sinema modern. Selain piawai sebagai sutradara, Tarantino juga memiliki reputasi sebagai pengamat film yang mendalam ia dikenal rajin menelusuri sejarah sinema, memahami akar estetika, serta menelaah sumber inspirasi kreatif suatu karya. Karena itulah, setiap kali ia mengomentari kemiripan atau pengaruh antara film maupun novel, pernyataannya cenderung memicu perhatian besar dari media dan para penikmat film.
Dalam wawancara terbarunya, Tarantino mengungkapkan bahwa ia termasuk salah satu penonton awal Battle Royale pada masa perilisan film tersebut. Saat itu, ia sedang berada di Jepang untuk mempersiapkan proyek Kill Bill. Ia menggambarkan pengalaman menyaksikan Battle Royale sebagai sesuatu yang “mengejutkan” dan sangat membekas sebuah kesan kuat yang menjadikan film tersebut salah satu favoritnya sepanjang masa.
Dengan rekam jejak, wawasan sinematik, dan posisi berpengaruh yang dimilikinya, komentar Tarantino tentu memiliki bobot tersendiri dalam perdebatan terkait orisinalitas gagasan, pengaruh lintas budaya, serta potensi plagiarisme dalam dunia film dan literatur. Pandangannya kerap menjadi pemicu diskusi lebih luas mengenai bagaimana ide kreatif berkembang dan di mana batas antara inspirasi serta penjiplakan harus ditarik.

Dalam sebuah episode terbaru dari The Bret Easton Ellis Podcast, Quentin Tarantino secara terang-terangan menyatakan bahwa “The Hunger Games ripped off Battle Royale”, komentar yang kemudian menjadi sorotan media internasional. Ia mengungkapkan kebingungannya mengenai bagaimana penulis Battle Royale tidak pernah mengambil langkah hukum terhadap penulis The Hunger Games, bahkan menegaskan pernyataannya dengan kalimat, “They just ripped off the fucking book!” Tarantino juga menyoroti para kritikus literatur saat novel The Hunger Games pertama kali dirilis karena, menurutnya, mereka gagal melihat atau menelusuri kemiripan premis dengan Battle Royale. Ia menyebut bahwa para kritikus tersebut tidak mungkin menonton film Jepang seperti Battle Royale, sehingga tidak pernah menegur atau mempertanyakan kesamaan karya tersebut. Tarantino menambahkan bahwa reaksi lebih jelas baru muncul setelah adaptasi film The Hunger Games dirilis, ketika banyak kritikus film menilai bahwa film tersebut tidak lain hanyalah “versi PG/PG-13 dari Battle Royale”, yakni versi yang lebih ringan dan jauh lebih disensor dibandingkan kekerasan grafis dalam film Jepang tersebut. Tak hanya itu, Tarantino bahkan memasukkan Battle Royale ke dalam daftar 20 film terbaik abad ke-21 versinya sendiri, menegaskan bahwa ia memandang karya tersebut sebagai film orisinal dan sangat berpengaruh.
Persamaan premis dan alur antara Battle Royale dan The Hunger Games menjadi alasan utama mengapa banyak pihak mendukung kritik Tarantino. Jika ditelaah secara garis besar, kedua karya ini memang menunjukkan sejumlah kesamaan yang mencolok, keduanya berlatar dunia dystopia yang berada di bawah kendali pemerintahan totaliter, menggunakan remaja sebagai peserta pertarungan mematikan, menempatkan karakter-karakternya dalam kompetisi yang hanya menyisakan satu pemenang, serta menampilkan unsur survival yang keras meskipun versi Jepang dikenal jauh lebih grafis.
Selain itu, baik Battle Royale maupun The Hunger Games sama-sama memuat kritik sosial terhadap struktur kekuasaan dan manipulasi pemerintah atas masyarakat. Kombinasi elemen-elemen inilah yang membuat banyak penonton, kritikus, hingga media melihat The Hunger Games sebagai versi yang lebih “ramah pasar” dari konsep yang telah diperkenalkan Battle Royale. Bahkan sejak pertama kali The Hunger Games populer, perbandingan antara kedua karya tersebut sudah kerap mencuat, terutama karena sama-sama mengangkat tema remaja yang dipaksa saling membunuh dalam sistem represif. Tarantino sendiri menegaskan bahwa kemiripan itu terlalu mencolok untuk sekadar dianggap kebetulan, sehingga menurutnya lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk penjiplakan.
Tidak semua pihak sepakat dengan tuduhan Tarantino, dan sejumlah argumen kontra pun bermunculan untuk membantah klaim bahwa The Hunger Games merupakan “rip-off” dari Battle Royale. Penulis novel, Suzanne Collins, bahkan pernah menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mengenal Battle Royale saat menulis The Hunger Games dan baru mengetahui keberadaan novel serta film Jepang tersebut setelah naskah bukunya selesai. Selain itu, meskipun kedua karya memiliki premis dasar yang mirip, banyak unsur penting yang berbeda secara signifikan, mulai dari dunia dan struktur masyarakat yang dibangun, fokus tema, karakter dan motivasinya, hingga arahan moral serta tone keseluruhan cerita.
Para pendukung The Hunger Games menilai bahwa kesamaan tersebut lebih merupakan penggunaan “trope umum” dalam genre dystopia dan survival, bukan indikasi plagiarisme. Dalam dunia fiksi, premis tentang pertarungan bertahan hidup memang telah digunakan berkali-kali, sehingga kemiripan ide tidak otomatis berarti penyalinan. Argumen ini mengingatkan bahwa orisinalitas mutlak jarang ada, dan karya-karya modern kerap merupakan reinterpretasi kreatif dari konsep yang sudah pernah muncul sebelumnya.

Pernyataan Quentin Tarantino bahwa The Hunger Games merupakan tiruan dari Battle Royale kembali memanaskan perdebatan mengenai orisinalitas, penghargaan terhadap karya awal, serta rumitnya proses kreativitas dalam dunia film dan literatur. Jika dilihat dari premis dasarnya, kemiripan antara kedua karya memang tampak jelas, sama-sama berlatar dunia dystopia, menghadirkan remaja yang dipaksa bertarung hingga hanya satu yang selamat, serta menampilkan kritik terhadap kekuasaan otoriter. Namun, secara naratif, pengembangan karakter, pembangunan dunia, hingga konteks sosial dan politik yang diangkat, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Ditambah lagi, pengakuan Suzanne Collins bahwa ia tidak mengenal Battle Royale saat menulis novelnya membuat isu plagiarisme ini semakin kompleks.
Pada akhirnya, pertanyaan apakah The Hunger Games merupakan plagiarisme atau sekadar interpretasi ulang dari trope umum dalam genre dystopia tetap tidak memiliki jawaban pasti. Banyak yang menilai hal ini bergantung pada sudut pandang, apakah fokus diletakkan pada kemiripan struktur cerita, atau justru pada eksekusi dan konteks yang berbeda. Meski begitu, satu hal yang jelas komentar Tarantino telah menghidupkan kembali diskusi tentang pentingnya apresiasi terhadap karya global, perlunya literasi film yang lebih luas, serta urgensi menghormati kreativitas dan inspirasi asli di tengah arus adaptasi dan produksi massal dalam industri hiburan.