Mahasiswa Bergerak: Antara Idealisme, Tuntutan, dan Risiko Aksi Massa

Aksi demonstrasi mahasiswa pada 2025 kembali mengguncang tanah air. Ribuan mahasiswa, terutama di Jakarta, turun ke jalan untuk menentang sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada keadilan.

Gerakan ini memadukan idealisme generasi muda, serangkaian tuntutan nyata, serta potensi benturan dengan aparat, sehingga menjadi perhatian luas masyarakat sekaligus ujian penting bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Demonstrasi yang pada awalnya bertujuan sebagai sarana penyampaian aspirasi publik berakhir ricuh di beberapa titik di Jakarta. Kerusuhan ini menyebabkan lumpuhnya transportasi umum, kerusakan fasilitas publik, dan jatuhnya korban jiwa, menunjukkan betapa besar risiko ketika aksi massa tidak dikelola dengan baik.

Insiden ini memperlihatkan seberapa rentan aksi massa ketika pengelolaan dan koordinasinya tidak efektif. Banyak pihak menilai bahwa insiden ini menjadi peringatan bagi pemerintah dan aparat untuk lebih menyediakan ruang dialog, sehingga aspirasi masyarakat dapat tersampaikan dengan aman tanpa mengorbankan keselamatan maupun kepentingan publik secara luas.

Sejak masa reformasi, mahasiswa kerap dipandang sebagai penggerak utama perubahan sosial dan politik. Dalam gelombang unjuk rasa terkini, idealisme tersebut kembali mendapatkan ujian. Kebijakan DPR yang menetapkan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan telah memicu kemarahan masyarakat, terutama ketika pada saat yang sama anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan subsidi publik mengalami pemangkasan. Bagi mahasiswa, kondisi ini mencerminkan ketidakadilan sosial yang tidak bisa dibiarkan.

Sumber: Tempo.co

Gerakan ini juga dipicu kekhawatiran mahasiswa terhadap meningkatnya pendekatan militeristik dalam pemerintahan serta praktik impunitas aparat keamanan. Mahasiswa menegaskan bahwa demokrasi harus dipertahankan, dan kepentingan segelintir elit politik tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar tersebut. Gelombang demonstrasi besar dimulai pada Senin, 25 Agustus 2025, dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya mahasiswa, aksi tersebut juga diikuti oleh individu perorangan, pelajar, pedagang, hingga pengemudi ojek daring.

Fokus utama protes saat itu tertuju pada kekecewaan publik terhadap kebijakan DPR, khususnya terkait kenaikan tunjangan anggota dewan. Para peserta aksi menuntut pembatalan tunjangan perumahan, keterbukaan informasi mengenai gaji, serta penghentian rencana kenaikan gaji DPR.

Situasi mulai memanas menjelang siang hari. Massa yang berusaha mendekat ke Gedung DPR sempat dipukul mundur, sehingga memicu kemarahan dan aksi pelemparan batu serta botol ke arah pagar kompleks parlemen. Bentrokan pun pecah antara demonstran dan aparat. Para peserta aksi berupaya menembus barikade di sekitar Kementerian Kehutanan menuju kawasan Slipi, namun direspons dengan tembakan gas air mata dan penyemprotan water cannon oleh kepolisian.

Gelombang unjuk rasa kembali berlangsung pada Kamis, 27 Agustus 2025. Pada pagi hingga siang hari, kawasan depan Gedung DPR dipadati buruh dari berbagai serikat pekerja. Mereka menyampaikan tuntutan terkait isu ketenagakerjaan, mulai dari penolakan terhadap sistem outsourcing hingga desakan kenaikan upah minimum.

Usai demonstrasi buruh pada siang hari, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus melanjutkan aksi untuk menolak kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat. Hingga sore, situasi relatif kondusif, tetapi menjelang malam kericuhan pun pecah.

Sejumlah demonstran memanjat pagar DPR, merusak fasilitas, serta melemparkan batu dan botol ke arah dalam kompleks parlemen. Aparat kemudian menanggapi dengan menembakkan gas air mata dan menyemprotkan water cannon, memaksa massa mundur ke kawasan Senayan, Slipi, hingga Pejompongan.

Menjelang malam, kericuhan memuncak ketika sebuah kendaraan taktis Brimob melaju kencang untuk membubarkan massa dan menabrak seorang pengemudi ojek daring di Pejompongan. Tragedi ini terekam oleh warga dan dengan cepat viral di media sosial, memicu kemarahan luas di kalangan masyarakat.

Korban dalam peristiwa tabrakan tersebut adalah Affan Kurniawan yang kemudian dinyatakan meninggal dunia. Sementara itu, korban lainnya, Moh Umar Amarudin, mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis di RSCM.

Tragedi ini memicu gelombang kemarahan baru. Sekelompok massa segera bergerak menuju Markas Komando Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, dan bertahan melakukan aksi protes hingga keesokan harinya.

Jumlah pengemudi ojek daring yang berkumpul di Markas Brimob Kwitang semakin banyak, sehingga fokus demonstrasi tidak lagi terpusat di Gedung DPR. Di Jakarta sendiri, konsentrasi massa terbelah menjadi dua titik utama, yakni di Polda Metro Jaya dan Mako Brimob Kwitang.

Mayoritas peserta aksi di Kwitang adalah para pengemudi ojol, sementara di Polda Metro Jaya massa didominasi oleh mahasiswa. Meskipun berbeda lokasi, tuntutan keduanya sejalan: menuntut keadilan atas peristiwa yang menewaskan Affan, serta mengecam tindakan represif aparat kepolisian selama mengawal demonstrasi sejak awal pekan.

Gelombang aksi serupa juga tidak terbatas di ibu kota. Demonstrasi ini juga menyebar ke sejumlah kota lain di Indonesia, dengan beberapa aksi yang berakhir bentrok dengan aparat keamanan.

Meskipun bertujuan menyampaikan aspirasi publik, setiap aksi mahasiswa pada tahun 2025 tetap menghadirkan risiko yang besar. Bentrokan dengan aparat kepolisian berulang kali pecah, terutama di sekitar Gedung DPR. Penggunaan gas air mata dan water cannon menjadi alat yang sering terlihat dalam upaya aparat membubarkan massa. Situasi memuncak setelah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi berlangsung. Peristiwa tragis tersebut memicu kemarahan yang meluas, tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di masyarakat umum.

Selain menelan korban jiwa, ratusan orang ditangkap dalam kerusuhan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Makassar, Bandung, dan Medan. Beberapa gedung DPRD di daerah bahkan dibakar oleh massa sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.

Gelombang unjuk rasa akhirnya memaksa Presiden Prabowo Subianto mencabut kebijakan tunjangan DPR. Meski demikian, ia menegaskan bahwa tindakan anarkis akan ditindak tegas, bahkan menyebut sebagian aksi mengarah pada bentuk pengkhianatan. Pernyataan tersebut menegaskan tingkat ketegangan yang tinggi antara pemerintah dan gerakan mahasiswa.

Dampak aksi besar ini juga terasa di sektor ekonomi. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok akibat kekhawatiran investor terhadap instabilitas politik. Peristiwa ini menunjukkan bahwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 2025 tidak hanya mempengaruhi ranah sosial-politik, tetapi juga menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *